Jumat, 28 Oktober 2011

Hukum Mewarnai Rambut Ada satu riwayat yang menerangkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya. Hal tersebut karena anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih- lebihan itu. Namun Rasulullah SAW melarang umatnya bertaqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan ﻭﻋﻦ ﺃَﺑﻲ ﺓﺮﻳﺮﻫ : ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳﺭ َّﻥﺃ ، َﻝﺎَﻗ : َﻥﻮُﻐﺒْﺼَﻳ َﻻ ﻯﺭﺎَﺼَّﻨﻟﺍَﻭ َﺩﻮُﻬَﻴﻟﺍ َّﻥﺇ ، ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﻖﻔﺘﻣ ْﻢُﻫﻮُﻔِﻟﺎَﺨَﻓ Dari Abi Hurairah ra berkta bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya“ orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka”. (HR Bukhari dan Muslim) Perintah ini oleh para ulama bukan berarti kewajiban melainkan mengandung hukum kesunnahan. Maka sebagaian shahabat ada yang mengerjakannya sahabat, misalnya Abubakar dan Umar radhiyallahu anhum. Sedang shahabat yang lain tidak melakukannya, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Kaab dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum. Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Quhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya. Untuk itu, maka bersabdalah Nabi ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ِﻪﻠﻟﺍ : ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ َﺩﺍَﻮَّﺴﻟﺍ ﺍﻮُﺒِﻨَﺘْﺟﺍَﻭ ﺍَﺬَﻫ ﺍﻭُﺮِّﻴَﻏ Dari Jabir bin Abdullah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR Muslim) Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Quhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini az-ZuHR pernah berkata: `Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut.` Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain- lain radhiyallahu anhum ajma’in. Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda. Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan: Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam. (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan) Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah SAW yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja. Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna` dan katam (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan) Hinna’ adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan. Namun demikian, untuk tujuan tertentu dibolehkan untuk mengecat rambut putih dengan warna hitam, meski para ulama berbeda pendapat dalam rinciannya: a. Makruh Ulama Hanabilah, Malikiyah, Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah seperti Imam Ghazali dan Al Baghwi menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma yang menyatakan kebolehannya. b. Mubah (dibolehkan) Abu Yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: ` Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk isteri- isteri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian` (Tuhfatul Ahwadzi 5/436) c. Haram Ulama Madzhab Syafi`i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasrkan kepada sabda Rasulullah SAW: Akan ada pada akhir zaman orang- orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga (HR Abu Daud, An- Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Nikah Lewat Chatting Bisa gak ya???. Kenapa bisa masalah nikah ya? yang nulis aja belum….hehhehe Anyway, karena ini adalah sebuah hukum islam yang perlu bagi kita untuk mengatahuinya, maka wajiblah bagi kita mempelajarinya. Berikut intisari dari tanya jawab salah seorang syaikh Al Azhar ketika membahas permasalahan Fiqh Kontenporer di mesjid Al Azhar Cairo, akad nikah melalui chatting YM (yahoo messenger). Nikah lewat dunia maya memang permasalahan yang baru dan kontenporer, memang di zaman Rasulullah tidak pernah terjadi, jangankan internet, telepon seluler aja belum ada. Nah, gimana kalo ada yang pengen menikah tapi hanya bisa dilakukan melalui media internet? Mungkin karena beda jarak, sang mempelai akan terlambat datang keruang pernikahan atau yang lainnya sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk menghadiri acara walimahan tersebut? so apakah akan ada kesulitan? atau apakah islam tidak toleran terhadap permasalah begini? Ya…Seprerti yang kita ketahui bersama, agama islam adalah agama yang selalu relevan disegala masa, dan selalu memberikan solusinya. Secara ilmu teknologi, agama islam memang tidak mengingkari terhadap perkembangan zaman sekarang, asalkan digunakan dalam hal2 yang positif, tapi jika itu memiliki dampak negatif ketika menggunakannya, maka jelaslah penggunaan teknologi itu dilarang dan diharamkan. Terus apakah itu bid’ah karena Rasulullah tidak mengalaminya? Jawabannya adalah tidak, apakah semua bid’ah itu sesat? Tidak juga, ups….karena ini permasalah bid’ah maka saya tidak akan membahasnya disini mungkin dilain waktu.:) Kembali kepermasalahan tadi, dalam hukum fiqh, akad nikah baru akan sah jika semua rukun dan syaratnya lengkap; 1. Ada akad (ijab-kabul) nikah 2. Adanya wali dari calon istri 3. Dihadiri oleh dua saksi yang tidak fasik. 4. Dua orang calon mempelai Jikalau akad nikah itu menggunakan chatting (internet), disyaratkan dalam ushul fiqh itu bahwa adanya kejelasan dalam akad nikah, berarti apabila semua peralatan yang membantu untuk meyakinkan akad nikah itu, mungkin hal ini bisa dilihat melalui video live serta voicenya, sehingga dapat meyakinkan akan kehadiran wali istri, kedua sang mempelai, dua saksi,saling melihat dan mendengar, begitupula sang suami harus benar2 yakin bahwa yang melakukan akad itu wali dari calon istri ; dan sudah mencapai kesepakatan bersama mempelai dan orang tua (wali) Ketika semua peralatan itu sudah dapat memberikan sebuah kejelasan dan keyakinan, bahwa semua rukun dan syarat nikah sudah lengkap, maka pernikahan melalui chatting atau media yang lainnya dapat dilaksanakan. Akan tetapi jika alat penglihat dan pendengar belum terpenuhi, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan. Karena akan menimbulkan keraguan antara dua pihak dan sang suami tidak bisa melakukan akad nikah melalui tulisan saja. ﻪﻧﺇ ﺔﻌﻤﺟ ﻲﻠﻋ ﺦﻴﺸﻟﺍ ﻲﺘﻔﻤﻟﺍ ﻝﺎﻗﻭ “ ﺕﻻﺎﻛﻭ ﺕﺎﻧﻼﻋﺈﺑ ﻰﻤﺴﻳ ﺎﻣ ﻝﻼﺧ ﻦﻣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﺝﺍﻭﺰﻟﺍ ﻞﺋﺎﺴﻣ ﻲﻓ ﻂﺳﻮﺘﻟﺍ ﺎﻋﺮﺷ ﺯﻮﺠﻳ ﺰﻛﺍﺮﻤﻟﺍ ﺾﻌﺑ ﻝﻼﺧ ﻦﻣ ﻭﺃ ﺝﺍﻭﺰﻟﺍ ، ﻲﻋﺮﺸﻟﺍ ﺔﺟﻭﺰﻟﺍ ﻲﻟﻭ ﻢﻠﻌﺑﻭ ﺲﻴﻟﺪﺗ ﻭﺃ ﺶﻏ ﻥﻭﺪﺑ ﺮﺧﻶﻟ ﻑﺮﻃ ﻞﻛ ﻦﻋ ﺕﺎﻣﻮﻠﻌﻤﻟﺍ ﺀﺎﻄﻋﺈﺑ ﻚﻟﺫﻭ ﻩﺯﺎﺠﻧﺇ ﻡﺎﻤﺗﺇ ﻰﺘﺣﻭ ﻰﻟﻭﻷﺍ ﻪﻠﺣﺍﺮﻣ ﻦﻣ ﺝﺍﻭﺰﻟﺍ ﺪﻘﻋ ﻡﺎﻤﺗﺇ ﺪﻨﻋ ﺕﺍﻮﻄﺨﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﻞﻜﺑ”. ﻞﻫﻷﺍ ﻢﻠﻋ ﻥﻭﺩ ﻥﺎﺒﺸﻟﺍﻭ ﺕﺎﻴﺘﻔﻟﺍ ﺀﺎﻘﻟ ﻰﻠﻋ ﺪﻋﺎﺴﺗ ﻲﺘﻟﺍ ﻭﺃ ﺔﻳﺭﺎﺠﺗ ﺽﺍﺮﻏﻷ ﻞﻤﻌﺗ ﻲﺘﻟﺍ ﺕﺎﻛﺮﺸﻟﺍ ﻞﻤﻋ ﺔﻌﻤﺟ ﺦﻴﺸﻟﺍ ﻡﺮﺣﻭ. ﺝﺍﻭﺰﻟﺍ ﺕﻻﺎﻛﻭ ﺕﺎﻧﻼﻋﺇ ﺔﻴﻋﻭﺮﺸﻣ ﻯﺪﻣ ﻝﻮﺣ ﻝﺍﺆﺳ ﻰﻠﻋ ﺍﺩﺭ ﻯﻮﺘﻔﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﻲﺘﻔﻤﻟﺍ ﺮﺸﻧ ﺪﻗﻭ . ﺝﺍﻭﺰﻟﺍ ﺐﻴﺗﺮﺗ ﺕﻻﺎﻛﻭ ﻥﺃ ﺮﻛﺬﻳ ﻦﻴﺑﺮﺘﻐﻤﻟﺍ ﺝﺍﻭﺯ ﺐﻴﺗﺮﺗ ﻲﻓ ﺎﻬﻀﻌﺑ ﺺﺼﺨﺘﻳﻭ ﺮﺼﻣ ﻲﻓ ﺕﺮﺸﺘﻧﺍ. Wallahu a3lam, semoga bermanfaat, bisa didiskusikan ^.^ di kutip dari azharku.blogspot.com

Kamis, 27 Oktober 2011

Almuqobalatu Fa' fi'il 'Ain fi'il dan Lam fi'il - Al-muqoobalatu artinya ber- hadap2an atau mencocokkan. Sebagian besar dari fi-’il2 di dalam bahasa arab (Menurut Ilmu Shorof) asalnya tiga huruf. Seperti ma-na-‘a ; ka-ta-ba dll. Contoh : Ma-na-‘a dikatakan atas timbangan Fa-‘a-la (kiyas dari wazan Fa-‘a-la). Jadinya begini ; Fa-‘a-la = Ma- na-‘a. َﻞَﻌَﻓ = َﻊَﻨَﻣ Oleh sebab Mim berhadapan atau berbetulan dengan fa dari fa-‘a- la, maka dikatakan Fa fi-‘il. Dan Nun itu oleh sebab berhadapan dengan ‘ain dari fa-‘a-la, maka dikatakan ‘Ain fi-‘il, dan ‘Ain itu lantaran berbetulan dengan lam dari fa-‘a-la, maka dikatakan Lam fi-‘il. Begitulah sekalian fi-‘il yang asalnya tiga huruf, yakni tiap2 fi-‘il yang asalnya tiga huruf itu, huruf yang pertama dikatakan fa fi-‘il, walaupun bukan fa. Dan yang kedua dinamakan ‘ain fi-‘il, walaupun bukan ‘ain. Dan yang ketiga disebut lam fi-‘il, walaupun bukan lam. Kalau fi-‘il itu bertambah hurufnya seperti yam-na-‘u, yam-na-‘uuna atau im-ta-na-‘a umpamanya, maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung, tetapi tetap kita berkata mim itu fa fi-‘il, nun itu ‘ain fi-‘il dan ‘ain itu lam fi-‘il. Selain dari itu dinamakan zaidah, yakni huruf tambahan. Dan terkadang fi-‘il itu asalnya empat huruf seperti da-h-ro-ja atas timbangan fa-’-la-la, maka dal itu dikatakan fa fi‘il, ha itu ‘ain fi’il, serta ro lam fi’il yang pertama, jim itu lam fi’il yang kedua. Kalau bertambah seperti mu-da- h-ri-jun atau mu-ta-da-h-ri-ja- tun, maka tambahan itu tidak dihitung, yakni tetap dikatakan dal itu fa fi-‘il ; ha itu ‘ain fi-‘il ; ro itu lam fi-‘il pertama dan jim itu lam fi-‘il yang kedua. Selain dari itu dikatakan huruf zaidah (tambahan). Catatan ini mudah2-an berguna mengingatkan diri penulis sendiri yang lupa, atau belum berkesempatan memahami istilah yang digunakan tatkala melihat perubahan2 kalimah ke bentuk lain menurut wazannya – serta mauzunnya. Secara filosofis hal ini sangat penting ditegaskan untuk menghalangi (ma-na-’a) kelancangan. Tanpa memahami posisi perubahan2 bangunan kalimah dalam bahasa arab, sulit diterima kemampuan seseorang yang coba menulis (ka-ta-ba), mengutarakan pendapat serta pemahamannya dengan terbuka kepada khalayak (tabligh) tentang Al-qur’anul kariem, sunnah nabi, qoul ulama, dll. yang nota bene tersurat dengan Bahasa Arab tersebut. Lebih baik menghalangi kesalahan, daripada keliru menggunakan ro’yu, atau berupaya sungguh-sungguh memahami fan ilmu alat / shorof dahulu, karena riskan resikonya apabila menyalahi. Dengan contoh kecil beginilah ‘lidah-lidah’ dan tinta para ulama senantiasa basah laksana nan tak pernah kering berbuat (fa-’a-la), menjaga originalitas atau keotentikan kalamulloh dan sunaturrosul. -Wallohu subhaana wa ta’alaa bil ‘alam-